Saturday, December 18, 2010

virginity

“ Singkirkan tatapan murung mu itu ? “ kata Yojuni pelan. Dengan lincah, tangannya memainkan pisau & garpu, memasukkan irisan kecil foei gras ke mulutnya.

Denting sendok yang terpeleset membentur piring atau denyit garpu yang tergesek pisau saat mengiris daging (yang dicocoknya), sesekali terdengar dari meja-meja di sekitar kami.

“ Kamu tak akan bisa menjalani masa depanmu dengan tenang, kalau kamu tidak berdamai dengan masa lalumu, “

Beberapa saat dia menatapku, menegaskan agar aku mengikuti kata-katanya.

“ Dia sudah pernah dicium orang lain, Yo! “ aku balas menatapnya. Sedih.

“ Itu 17 tahun yg lalu bro! saat kita masih SMA. Kamu masih belum bisa lupakan? “ Dia terperanjat dan hampir tersedak.

“ Cacat lu!!! Dia dicium bekas pacarnya 17 tahun yang lalu dan kamu masih belum bisa lupakan? “ ulangnya.

aku menggeleng pelan; “ Dia juga mengaku sudah tidak perawan lagi “

Pffuff!

Dunia disekitarku seperti melambat dan berhenti. Yang bergerak cepat hanyalah bayangan adegan mesra antara tunanganku dengan bekas pacarnya. Seperti layaknya film 3D yang diulang-ulang. Seperti nyata didepanku. Menyakitkan.

Tunanganku sudah tidak perawan lagi! Pikiran seperti ini yang selalu menghalangi kata-kata menikahinya keluar dari mulutku. Dari awal, hati kecilku sebenarnya sudah tidak setuju dengan pertunanganku ini. Kalau dia sudah merelakan dicium dan menyerahkan keperawanannya kepada bekas pacarnya, seharusnya dia hidup bersama dan bahagia dengan bekas pacarnya itu. Bukan hidup dengan orang lain. Menyerahkan keperawanan adalah keputusan besar dan penting dalam hidup. Tidak bisa sembrono karena kita bukan anjing, ayam atau kucing. Tapi aku tidak berani melawan kehendak orang tuaku yang menjadi sahabat baik orangtuanya. Aku takut durhaka.

“ Dia sudah tidak perawan lagi “ otakku menyiksa lagi.

Adegan-adegan mesra tunanganku dengan bekas pacarnya muncul lagi menganiaya. Menyakitkan.

“ Are you allright bro? “ ucap Yojuni pelan.

Kuhadapkan telapak tangan kiriku kedepannya, mengirimkan pesan bahwa aku baik-baik saja. Serius dia mengamati raut wajahku. Aku jengah diperhatikan seperti itu. Beberapa detik jadi canggung.

Datangnya pesananku menyelamatkan suasana sarapan pagi yang muram. Senyum, anggukan kepala, dan ucapan terimakasihku ke pramusaji dibalas dengan sikap serupa. Dengan cekatan, dia letakkan piring datar berwarna putih berisi plain omelette yang segera diletakkan di meja di depanku.

“ Sorry Yo. Jadi curhat jadinya “ aku beranjak dari kursi setelah pramusaji meninggalkan mejaku. Kucari wastafel untuk cuci tangan lagi. Kurasakan pandangan mata Yojuni masih mengikutiku.

Aku datang ke hotel tempat dia menginap ini untuk menemaninya sarapan karena Yojuni hanya meeting sebentar di Jakarta dan harus pulang ke kotanya sore nanti sebelum jam kerjaku berakhir.

Bersyukur aku punya sahabat seperti dia. Meskipun kita berbeda seperti langit dan bumi, tapi dia selalu mengerti keadaan diriku. Bahkan, beberapa hal yang aku tidak berani ceritakan ke orang tua atau saudaraku, aku bisa nyaman sampaikan ke dia.

Aku, Yojuni dan Noru - tunanganku sekarang - adalah teman sekolah sejak SMP. Kita berpisah selepas SMA untuk kuliah di tempat yang berbeda. Yojuni dan Noru ke Melbourne dan aku ke Singapore.

Lulusan sekolah luar negeri ternyata masih jadi jalan tol untuk mendapat pekerjaan dan karir yang bagus di negeri ini. Aku kerja di Perusahaan asing di Jakarta. Yojuni di Balikpapan dan Noru di Surabaya.

Sayangnya, cerita indah tidak terjadi di kehidupan percintaan kami. Kudengar dari Yojuni, Noru terguncang hebat ketika memergoki pacarnya selingkuh. Niatnya pulang diam-diam saat libur kuliah untuk memberikan surprise, malah memberi dia sakit hati.

Lima tahun berpacaran, pengorbanan untuk meluangkan waktu bersama, bahkan keperawanan sudah diberikan, ternyata tidak mampu mengikat kesetiaan pacarnya.

Selera purba pacarnya lebih memilih seorang pegawai salon yang punya ukuran dada diatas rata-rata, yang entah terbuat dari apa.

Yojuni juga cerita putus dengan pacarnya, tapi sepertinya tidak ada perubahan yg berarti. Nggak tau apakah dia datang dari masa depan, atau pikirannya sudah jauh maju melewati mesin waktu. Dia kelihatan biasa-biasa saja. Kecewa pun nampaknya tidak. bahkan cara berpikirnya semakin lama semakin liberal menurutku.

Itu khabar yang aku dapat ketika terakhir bertemu Yojuni setahun yang lalu. Kebetulan kami bisa pulang kampung bersama-sama ke Solo untuk melayat karena Ayahnya Noru meninggal.

Sesudah pemakaman, aku diberitahu ibuku bahwa sebelum meninggal, Orang tua Noru dan orang tuaku sudah melakukan pembicaraan yang intensif untuk menjodohkan aku dengan Noru. Keputusan itu diambil karena baik aku maupun Noru belum juga menikah ketika usia sudah lewat 30 Tahun. Dan, seperti biasa aku tidak berani mendebat ibuku.

Aku sudah semeja lagi dengan Yojuni. Mencoba membuat lelucon-lelucon agar pertemuan yang sudah sangat jarang terjadi ini menjadi hangat. Tapi keinginanku untuk menceritakan perkembangan hubunganku dengan Nori yang seperti berjalan di tempat juga tak terbendung. Aku tahu, ini sebenarnya bukan pilihan topik yang bijaksana, tapi siapa lagi yang bisa kupercaya menampung keluh kesahku? Dan Yojuni, sepertinya bisa mengerti.

“ Singapore dan jakarta yg bebas tidak menjadikanmu berubah, tidak sepertiku “ raut wajahnya murung. Seperti daun maple yang luruh, pasrah terhadap angin musim gugur. Sesaat, aku tidak percaya perempuan yang selama ini kuanggap punya sel anti kecewa di darah putihnya karena selalu riang, bisa mendadak kelam.

“ Kau tau apa yang terjadi di Melbourne denganku ? “ kali ini hampir menangis.

“ Tidak usah kau ceritakan kalau itu hanya menbuat kau sedih. Aku hanya punya sedikit sahabat dan aku tidak ingin sahabatku menangis sepagi ini “ Kuusap-usap tangannya, mengemis untuk tidak cerita.

“ Tony, pacarku yang ganteng, wine, musim dingin dan suasana yang romantis membuat pengalaman bersetubuh pertamaku terasa indah. Tapi itu hanya berlangsung satu hari. Tanpa sengaja siangnya aku mendengarkan ocehan Tony ke teman-teman kampusnya. Katanya ML dengan perawan nggak enak. Suck. Seperti bercinta dengan mayat. Nggak Hot. Ditengah-tengah kerasnya tertawa, dia malah bersumpah tidak akan bercinta lagi dengan perawan. Dia dan kawan-kawannya menertawaiku “
Suaranya tersekat karena emosi “ Anjing! Saat itu juga aku labrak Tony dan kugampar dia “

Tangis Yojuni pecah.

Kugenggam tangan Yojuni erat-arat. Kubisikkan ketelinganya : “ Kalau kau minta aku untuk membunuh anjing itu akan aku lakukan “

Life is complicated. Sepuluh menit kemudian kita berdua sudah di kamar Yojuni. Kamar 503. Menghabiskan semua minuman beralkohol di minibar.

***

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem

Tuesday, August 24, 2010

Subuh Teduh

Menjemput Ramadhan

Bulan sebentar lagi jatuh di sajadah
Disajikan
Agar dipunguti orang-orang yang mau merunduk merendah
Yang membela orang-orang kalah
Kunang-kunang pun mengirim terang/bagi jiwa-jiwa yang ingin bebas
Terbang mengikuti-Nya

Jakarta, menjemput bulan ramadhan 1431 H

Ramadhan

Seringkali aku enggan
Bahkan takut mati
Meninggalkan hangatnya kesenangan
Yang memelukku erat di dunia

Anehnya, di bulan Ramadhan ini
Aku siap meninggalkan itu
Kalau Kau memanggilku
Tapi ada raja’
Reformatlah jiwaku
Utuslah malaikat untuk melenyapkan koreng-korengnya
Agar Kau tidak illfil dan memalingkan muka
Saat aku menghadapMu


Rasa

Seandainya bisa kubeli perasaan yang aku alami sekarang ini
Akan kubeli banyak-banyak dan kusimpan di kulkas
Agar bila aku sedih
Aku bisa ambil sewaktu-waktu

Subuh teduh

Berlari-lari mengitari bulan
Dikeheningan malam
Tersengat hadits
Seandainya kita tahu pahala sholat subuh di mesjid
Meskipun merangkak, kita akan melakukannya

Hening Bening

Oh hening yang bening
Pada sepi hati bernyanyi
Larutkan rindu padaMu

Budak Waktu

Kita adalah budak waktu
Terputar ke dalam pusaran nya
Terayun-ayun dan akhirnya tenggelam, kalau tangan pemilik waktu tak membebaskan Sebelum nafas terakhir terenggut
Ulurkanlah ranting-Mu


Pelangi



Pelangi adalah rahim segala warna

Dialah penyesap biru lukamu

Jembatan pendamai antara matahari dan hujan

Tangga menuju nirwana

Thursday, March 11, 2010

Bumi sekarat!

Bumi sekarat! Terkapar.
Dan kita yang telah menikamnya berulang-ulang.

Idiotnya, meski kita telah menyayat-nyayatnya, menaburi lukanya dengan garam sambil nyanyi genjer-genjer, kita nggak merasa telah membuatnya koma.

Entah berapa lagi bencana dibutuhkan untuk menyadarkan kita. Berapa juta lagi isyarat dan tanda harus diberikan untuk membuat kita mengerti. Berapa lagi azab yang harus ditimpakan agar kita insyaf. Berhenti menjadi penjahat lingkungan dan menyakiti bumi.

Penjahat Lingkungan? Apa salahku? Aku tidak melakukan apa-apa kok?

Ya Ampun. Please deh. Sudah melakukan perbuatan nista dan tercela, nggak merasa pula.

Kalau semua manusia begini, kita akan bernasib seperti katak yang ditaruh di baskom berisi air yang dipanaskan pelan-pelan. Meskipun tidak ditikam di foramen magnum-nya, si katak akan mati tragis ketika airnya mendidih.

Ya. Mati konyol karena tidak peka terhadap lingkungan dan masa bodoh terhadap bahaya yang mengancam.

Bahaya? Bahaya apa yang mengancam bumi?

Oh My God! Belum sadar juga?
Sudah stadium 4, bung!. Dan tidak hanya mengancam bumi, tapi juga ras manusia dan makhluk hidup lainya.

Salah satunya adalah pemanasan global. Temperatur bumi menjadi semakin panas. Udara pun kering beringsang.

Kali ini kita kesampingkan dulu Teori Samadov untuk menerangkan pemanasan global dan kita akan merujuk Madzab Fourier perihal Efek Rumah kaca.

Seperti kita ketahui, energi matahari yang sampai ke bumi, kurang lebih sepertiga atau seperempatnya akan dipantulkan lagi ke ruang angkasa melalui awan, partikel-partikel dan permukaan reflektif lainya. Sebagian besar lainya akan diserap oleh tanah, lautan dan tumbuh-tumbuhan.

Kita juga tahu, energi yang diserap bumi tersebut tidak selamanya tinggal dibumi, karena kalau demikian tentu bumi akan menjadi “ bola api yang panas sekali “. Tetapi energi tersebut akan dipantulkan lagi dalam bentuk sinar infra merah, yang sayangnya tidak langsung terus ke ruang angkasa, melainkan akan di cegat & ditahan oleh karbon dioksida (CO2) dan gas-gas rumah kaca lain yang ada di atmosfer sebelum dilepaskan dan dibalikkan lagi ke permukaan bumi.


Meningkatnya konsentrasi gas CO2 dan gas-gas rumah kaca inilah yang membuat eskalasi gelombang panas yang terperangkap di atmosfir menjadi semakin meningkat tajam.

Panasnya temperatur bumi akan berbanding lurus dengan dengan banyaknya konsentrasi gas CO2 dan gas-gas rumah kaca di atmosfir.

Dengan dmikian, pemanasan global akan sangat tergantung pada besarnya konsentrasi gas CO2 di atmosfir dan kemampuan bumi untuk menyerapnya.

Celakanya, produksi O2 seret. Bumi makin lama makin loyo. Terengah-engah tak berdaya untuk menyerap gas CO2 karena hutan dibantai dengan sadis, dibabat sembarangan, terumbu karang rusak, taman kota & pohon-pohon rindang dianggap tidak eksotis lagi dan lebih menyukai membiakkan beton-beton yang angkuh.

Bayangkan, tahun-tahun belakangan ini 2 juta hektar hutan nasional kita dibantai tiap tahun.
2 juta hektar bung!
Itu kira-kira 3.5 kali luas Pulau Bali.

Sialnya lagi, kita – si manusia bodoh – yang sudah tahu bahwa bumi sedang sakit masih saja tidak merasa bersalah menyemprotkan dan mencemari udara. Merusak atmosfir kita.

Setiap hari, berapa juta mobil & motor kentut CO2 mencemari udara kita? Berapa juta ton batubara dan minyak bumi kita keruk dan sedot gila-gilaan dalam setahun? Berapa banyak eksploitasi di bidang peternakan? Semuanya membuat gas-gas rumah kaca di atmosfir menjadi semakin tebal. Bumi serasa diberi sabuk insulator dan panas yang terperangkap akan semakin banyak. Temperatur bumi akan meningkat. Itulah fenomena pemanasan global bung!

Dampak selanjutnya? Sungguh menyeramkan! Iklim bisa kacau dan bisa berubah sangat ekstrim, ekosistem acak-acakan, permukaan air laut melonjak tajam dan bisa-bisa es di kutub utara dan selatan mencair.

Kalau es di kutub utara dan selatan mencair semua, kalau permukaan air laut meningkat ekstrim ?
Waduh, ya akan njir banjir tak iye. Klelep kabeh dik!

Game Over.
Bukan mustahil akan terjadi “kiamat” Tahun 2012 kalau kita tidak berbuat apa-apa.

Sayang waktu tak bisa menunggu. Matahari tidak pernah mau kompromi. Menanam pohon secara masif memang berguna. Tapi, yang paling efektif untuk mencegah pemanasan global ya pengendalian diri.

Betul. Sebagaimana inti daripada ajaran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) ya pengendalian diri itu faktor kuncinya.

Kita kendalikan penebangan hutan dan harus ada jeda tebang. Misalnya 20 tahun gitu.
Kita kendalikan exploitasi batubara, minyak bumi, peternakan dsb
Kita kendalikan pemakaian energi

Tapi aku khan bukan pemerintah yang punya kekuatan untuk itu? Aku khan hanya orang biasa?

Ini tentang hidup mati bumi dan penghuninya kawan!

Kalau kita nggak bersama-sama mencegahnya, kalau kita nggak berperilaku hijau kita semua akan binasa. Bumi will die faster my friend!

Gampang kok caranya, hal-hal kecil kalau di lakukan bersama-sama pasti pengaruhnya signifikan.

Setidaknya seminggu sekali tidak memakai mobil pribadi. Kalau orang diseluruh dunia yang punya mobil menyempatkan diri tidak memakai mobil 4 jam saja selama seminggu. Berapa juta ton emisi gas buang bisa dikurangi? Berapa juta liter bensin / solar bisa dihemat?
Share pemakaian mobil dengan kawan-kawan untuk pergi – pulang kantor. Kalau bisa sering-seringlah pakai mobil umum atau bus way daripada mobil pribadi.
Mengendalikan pemakaian kertas, karena kertas berasal dari pohon bukan?
Mematikan lampu dan AC di ruangan yang tidak digunakan.
Tidak meninggalkan televisi dalam keadaan hidup
Lebih sering berjalan kaki
Membawa kantong sendiri saat belanja
Banyak menanam pohon

Gampang kan? Tapi akan menjadi sangat susah kalau kita malas dan tidak mau peduli.

Bumi sudah koma. Tapi masih ada kesempatan untuk menyembuhkannya kalau kita berperilaku hijau bersama-sama.

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem

Monday, December 14, 2009

Sexynya Saham

“ Betapa tidak adilnya? “ kataku dalam hati. Belum genap sehari, nilai saham yang kubeli sudah naik 5 perak / saham. Kalau sebagian sahamku, let’s say, aku jual 59 lot saja, aku sudah untung sekitar 100 ribu perak.

Berapa jam tukang ojek harus bekerja untuk mendapatkan duit 100 ribu perak?

Berapa jam seorang pelayan toko harus tersenyum, berdiri dengan sikap sempurna melayani pembeli (si raja yang menjengkelkan itu), untuk mengisi dompetnya dengan selembar uang kertas bergambar soekarno-hatta itu?

Berapa meter persegi (kalau diakumulasikan) seorang cleaning service harus mengepel dan mengelap untuk mendapatkan 2 lembar uang kertas berwarna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai itu?

Berapa jam seorang pengemis harus memasang muka memelas sambil merintih menggumamkan lagu kebangsaannya : “ Pak, kasihan pak!, belum makan pak! “ untuk mengisi kaleng didepannya dengan 100 lembar uang kertas bergambar kapitan pattimura?

Berapa jam seorang pedagang kecil, buruh, petani harus berjuang untuk mendapat untung 100 ribu rupiah di negeri penuh ironi ini?

Susah banget bagi rakyat jelata untuk mendapat untung 100 ribu perak sehari. Susan Bambang!.

Itupun jauh dari cukup untuk bisa hidup layak di Jakarta kawan? tidak cukup untuk menikmati hidangan buffet di hotel? tidak cukup untuk sekedar relax di Kenko Fish Spa menikmati gigitan asoy ikan garra rufa.

Tidak cukup kawan!

Dan kita – sebagian besar penghuni negeri yang penuh ironi ini – selalu menganggap biasa dan abai akan keanehan-keanehan yang terjadi di sekitar kita. Ketidak adilan di negara kita.

Jarang orang yg mau memihak dan demi keadilan, membela rakyat kecil yang selalu dipinggirkan dan digusur-gusur.

Paling banter bisanya hanya prihatin dan bilang : “ sabar! Sabar! “ sambil menepuk pundak mereka, mengangguk-angguk dan diam-diam membenarkan teori pareto

Bahkan tidak sedikit pula yang selalu menempatkan mereka di rantai makanan yang paling bawah alias yang paling sering dikorbankan atau dijadikan tumbal buat kepentingan bisnis. “ Give away the weakest chain “ kelihatannya kredo itulah yang ada di pikiran binalnya. Yang dipikirkan hanya keluarga dan yang seagama saja. Padahal, ketidak adilan dan kesewenang-wenangan sangatlah dibenci Allah SWT.

Tak bisakah budaya ta’awun kita sebarkan dan langgengkan? Tak bisakah kita saling tolong menolong untuk mempersempit ruang gerak ketidakadilan? Membantu tanpa membeda-bedakan agama, suku, atau partai apa. Gemar memberi, tak harap kembali.

Agar siapapun yang hidup di dunia ini bisa punya kesempatan untuk menjadi apa yang diinginkannya tanpa ketakutan nggak bisa makan. Agar kemiskinan menjadi sejarah.

Jawabnya adalah : Bisa.
Bantulah orang yang membutuhkan pertolongan dengan ikhlas. Ya. Simple!.

Simple tetapi sangatlah tidak simple ketika akan mempraktekkannya. Ada saja gangguan setan yang terkutuk yang menghambatnya. Setan yang paling kuat bisanya membisikkan bahwa itu bukan urusan kita.

Padahal hasil yang akan kita dapat sangatlah luar biasa. Membantu (dengan ikhlas) akan menuntun kita menjadi orang merdeka. Dan keikhlasan adalah saham yang nilainya akan selalu berlipat ganda dan meraksasa. Kita akan menjadi cahaya diatas cahaya.

Masih tidak tertarik dengan saham yang sangat profitable itu ????? pasti ada yang salah dengan kita.

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem

Monday, October 26, 2009

Amuse yourself dude!

Tergopoh-gopoh aku menuju check in counter. Alamak! Kampret! Antriannya panjuaan banget. Sepanjang jalan daan mogot. Abra cadabre, libur lebaran menyulap airport seperti pasar malam

Beruntung yang antri hanya di deretan kasta ekonomi. Sedangkan yang tercetak di tiket ku adalah kelas C alias business class, jadi ya lenggang-lenggang kangkung dimasak tumis, hassle free dan dilayani dengan manis.

Beruntung? Iya. Tetapi proses untuk bisa membeli tiket itu juga jangan dilewatkan. Jangan dilupakan. Butuh usaha dan pengorbanan yang extrem.

Aku harus menabung dan sekian lama harus bertapa; mengamalkan butir ke 7 dari sila ke 5 pancasila alias tidak boros. Rela berkorban, menahan hawa nafsu untuk tidak belanja yang mak nyus-pak nyus. Life less. Berakrobat agar pemotongan budget yang extrem tidak mempengaruhi hari-hari ceriaku.

Dan Alhamdulillah. Rumus : Keyakinan, Doa, keinginan dan usaha yang kuat berbanding lurus dengan keberhasilan masih valid sampai sekarang.

Aku adalah orang biasa yang sekali-kali ingin melakukan hal yang tidak biasa atau bahkan luar biasa (setidaknya untuk ukuranku). Bukan punguk atau seorang astronot tetapi aku juga sangat merindukan bulan.

Setelah diberi boarding pass dan mengisi immigration card, kuseret tas kabinku - yang berisi peralatan generik untuk travelling - menuju immigration counter. Juga diberi invitation card untuk masuk premium lounge. Disitu tertulis gratis untuk menggunakan fasilitas seperti golf putting, massage chair, internet, dan shower.

Meskipun tidak ada sayur asem atau lethok buatan mbak yayuk yang katanya bisa membuat orang yang sedang berdiet diam-diam melanggar janjinya, tetapi makanan di premium lounge ini tidaklah terlalu mendongkolkan. Sup & saladnya komplet. Juga soft drinknya.

Kalau kalian suka minuman yang masuk dalam daftar DBDJ (Dilihat Boleh, Dipegang - apalagi diminum – Jangan), beverages berbahan dasar ethanol (C2H6O) yang memabukkan itu terparkir rapi di bar. Tinggal tuang aja kalau mau mendem-mendem atau mau sekedar selingkuh dengan alkohol buat memacu euforia.

Waktu boarding pun mendapat perlakuan istimewa. Didahulukan dan masuk pesawat melalui gate khusus. Ada rasa bangga ketika kita dipersilahkan naik duluan, sekaligus rasa takut sifat sombongku akan tumbuh subur.

Apakah aku membeli tiket business class untuk mendefinisikan diriku? Apakah tidak berlebihan caraku memanjakan diri?

Kurasa tidak.
Ketika inspeksi ke kapal atau melaksanakan audit sebagai bagian dari pekerjaanku, kadangkala aku dihajar ombak dan angin tenggara yang kejam. Speed boatku pernah terapung-apung mati mesin di gelapnya malam. Tidak jarang bermandi ombak dan menelan debu batubara. Kapal kayu yang kutumpangi pernah terombang-ambing di laut lebih dari satu jam sebelum kapal pengganti tiba. Bahkan demi tugas, aku pernah 4 jam naik pesawat, transit hanya 40 menit kemudian langsung disambung lagi naik speed boat 3 jam, ditambah beda waktu 2 jam. Sedangkan kalian tahu, aku tidak punya background sebagai pelaut meskipun nenek moyangku seorang pelaut.

Jadi sekali-kali memanjakan diri boleh kan?

Kalau tidak salah ingat, airline yang aku tumpangi menjejalkan 35 (atau36?) kursi ke kabin business class dengan pola dan konfigurasi 2-2-2. Jadi hanya pakai 2 gelandang, eit … kok jadi lari ke sepak bola. Maksudku, kursi dan gangnya menjadi lebih sempit karena biasanya konfigurasi tempat duduk business class adalah 2-2 atau 2-1-2. (Lho sekarang kok jadi inget wiro sableng???). Pokoknya gitu deh. Tidak luas-luas banget, jadi jangan membayangkan ada meja pingpongnya segala ya?

Before take off - for welcome drink - I was offered a choice of orange juice or sparkling water. Aku memilih orange juice karena kukira gelas yang berisi air berwarna putih kekuningan dengan gelembung udara pating prenthul itu adalah sampanye. Eh prenthul opo prenthil ya?

Aku juga diberi daftar menu yang akan disajikan selama penerbangan. Nek ndelok gambare sih koyone ueenak tenan, tapi mengukur lidah ndesoku yang sudah terbiasa mengecap manis dan gurihnya rempah-rempah nusantara aku bisa menduga bahwa rasa makanannya nanti tidaklah seindah gambarnya. ( Kecuali chef dan kokinya diganti Mbok Mayar atau Yu Prapti )

Parahnya lagi, Sepertinya aku yang paling muda dan obrolan dengan penumpang disebelahku tidak jauh dari urusan pekerjaan. Uuh!. Membosankan.

Otakku malah memutar lagi episode malam pertama di Singapura.
“ Morning “ senyum manis abg bule menyambut pagi yang agak lembab. Rasanya aneh ya ketika pertama kali bangun tidur ada orang asing di dekat kita.

“ Morning “ balasku sambil ngringkel lagi di bawah selimut.

Sisa petualangan dan kenikmatan semalam masih meninggalkan rasa lelah dan rasanya aku masih ingin tidur lagi, sedangkan dia yang masih bercelana pendek meneruskan membaca.

(Eit… yang berpikiran ngeres dan membayangkan yang bukan-bukan sebaiknya segera pergi ke psikiater dan tanya apakah anda pedofilia atau bukan he..he..he).

Cerita diatas memang cerita malam pertamaku ketika jadi turis backpacker beberapa tahun silam. Kita, laki-laki dan perempuan memang satu kamar tetapi rame-rame dan lain bunk.

Rindu juga jadi turis backpacker lagi.

Setelah makan, segera aku adjust monitor dan kursiku untuk mendapatkan tingkat kenyamanan yang optimal menunggu landing. Kupasang head set dan memilih-memilih channel. Tetapi sebagian besar sudah kulihat dan yang lain tidak ada yang bagus.

Channel & hiburan terbaik yang aku punya ternyata adalah ketika bersamamu. Ya ketika bersamamu.

Iya benar, kamu sayang.

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem

Monday, May 25, 2009

Kelas menengah gombal

"Puf! Sombong sekali. Gue nggak suka dia. Milliner yang hebat pun tidak akan sanggup membuatkan topi untuknya. Besar kepala kali dia!" teman perempuanku merespon dengan sengit ketika aku memuji kecantikan Paris Hilton.

Kutunda mendebatnya biar panas hatinya tidak mencairkan lebih cepat iced caramel macchiato-ku. Tampaknya dia masih gusar karena kulihat dia menyendoki whipped cream dari mocha frappuccino-nya tergesa dan melahapnya dengan kesal.
Ya, memang diluar kebiasaan. Tadi dia minta barista untuk menambahkan whipped cream.

"Janganlah kebencianmu kepada seseorang membelokkan penilaian objektifmu. Benci adalah benih varietas unggul dari ketidakadilan," nasehat klasik keluar dari mulutku.

Sok tua. Sok tau. Darah manusia jenis crewet baweltus soktaubangetus tampaknya mengalir dalam tubuhku, sejak lahir.

"Gue bukan malaikat yang tidak punya rasa benci dan emosi. Ada sekat-sekat yang sudah built in di dalam otak gue. Ada ruang dalam otak gue yang menyuruh geram terhadap orang kaya yang sombong. Ada ruang dalam otak gue yang menyuruh supaya benci permanen terhadap kelakuan Israel yang sewenang-wenang terhadap Palestina. Ruangan lainnya didisain khusus supaya jijik terhadap pemerintah yang selalu menelantarkan kepentingan rakyatnya. Jadi, jadi, jadi jangan pernah memuji-muji orang kaya, celebrity, atau pejabat yang punya kelakuan najis di muka gue. Mual gue!"

Wuszz.. Semburan kata-katanya melesat lebih dari 3 kata per detik. "

Kamu dulu dapat beasiswa dari gerilyawan Tamil ya babe?" tanyaku berusaha meredam emosinya.

Dia memelototiku. Rongseng.

"Lu tuh memang nyebelin ya. Bukannya affirmative dan mendukung gue, ee.. malah mbelain si kampret Paris Hilton. Bukankah dia klepto? ngutil DVD! Bukankah dia kurus tinggal tulang binti anorexia? Mana sifat setia kawan lu?"

Aku mengangkat tangan mengisyaratkan agar dia berhenti bicara.

"Haruskah selalu serius seperti ini? Persoalan sepele menggosipkan Paris Hilton kenapa jadi membengkak kemana-mana? Bisakah kita hanya bergosip an sich dan tidak membebaninya dengan konteks yang kompleks. Just gossip sebagai teman minum kopi dan membantu waktu menuntun senja, menyerahkan diri ke malam minggu yang berbintang."

Aku juga protes dan sedikit emosi. Untung kami berlabun-labun di meja paling pojok di kedai ini. Jadi nampaknya suara kami yang kerap menguat hingga berpotensi menyebabkan tinnitus tidak mengganggu keasyikan para penggila kopi yang lain."

"You're so pathetic my friend! Nampaknya lu juga penggemar sekte kelas menengah keparat yang terlena di zona aman. Yang nantinya akan asyik menggemukkan anak dan tidak peduli lagi persoalan manusia yang lain. Apatis terhadap persoalan sosial dan tidak kritis karena senang menetek kepada pemerintah. Individualis egois dengan kitab suci less we more me. Yang penting kenyang dan senang, dan tidak peduli bahwa kemiskinan bertebaran di sekitarnya, ketidakadilan merajalela, kekayaan alam kita dirampok habis di depan mata, korupsi membudaya, bumi sakit, demam tinggi karena global warming. Mereka tidak perduli my friend! Wake up man, ada lebih dari 35 juta warga negara miskin di Indonesia."

Dia menyabak. Aku ternganga.

"Ini bukan sekedar statistik man. Mereka manusia bung. Satu spesies dengan kita. Dengan kelebihan uangnya, kelas menengah keparat itu seharusnya bisa berbuat lebih dan merubah keadaan menjadi lebih baik."

Kulihat tetes airmatanya jatuh ke mug moccha frappucino-nya.

Kutelan ludahku, dan berkata lirih; "Aku sependapat, tapi kalau bilang Paris Hilton nggak cantik, itu fitnah namanya."***

Monday, May 04, 2009

Tukang Cukur

“ Bupati, Kapolres, dan pejabat-pejabat sini melanggani tukang cukur ini lho pak, “ temenku menyakinkanku. Mungkin melihat mukaku yang masih berkerenyit-kerenyit dan ragu-ragu melihat tempatnya yang sangat sederhana.
“ Sudah pernah dimuat dan diulas di koran juga, “ lanjutnya.

Waduh. Penjelasannya malah membuatku jadi tambah bimbang. Bupati, Kapolres, potongan rambutnya biasanya kan model crew cut atau model cincang 231. Dicincang rambutnya hingga hanya tersisa 2 cm di depan, 3 cm di tengah dan 1 cm di belakang. Wah, kalau harus di pangkas dengan “SOP” ekstrim (231) begini ya jangan. Lain kali mungkin boleh, karena saat ini aku sedang ingin model rambut yang pendek, tapi agak-agak funky lah.

“ OK, kita tengok juga yang lain dulu untuk mendapatkan tempat dan tukang cukur yang terbaik “ jawabku bergaya. Sekali-kali bergaya boleh lah ya. Di minggu siang yang dikerubuti awan ini, kita bergegas berburu salon dan barber shop.

***

Sudah dua salon kita masuki dan dua-duanya tidak punya stylish yang bisa merapikan jambang dan kumisku. Tidak semua yang kita inginkan kita dapatkan. Tempat cukur dan tukang cukur yang sesuai dengan standarku belum aku dapat. Tapi jambang dan kumisku yang sudah menyulapku mirip Tom Hank di film Cast Away, sudah membuatku tak nyaman.

Setelah berpusing-pusing dan mendapati beberapa barbershop juga tutup. Akhirnya, kita balik lagi ke tukang cukur langganan bupati tadi. Temanku juga terlihat senang akhirnya aku memilih mengikuti rekomendasinya.

***

Begitu masuk ruang kerjanya, kita disambut banner yang bertuliskan permohonan agar tidak pesan tempat lewat telepon dan pelanggan diminta antri dengan tertib. Banner tersebut ditempel disamping kaca. Meski ditulis dengan tata bahasa dan ejaan yang tidak sesuai dengan EYD, tapi pesan yang disampaikan sangatlah jelas. Crystal Clear:

1. Pesan tempat lewat telpon (dalam ranah publik) adalah perbuatan jahanam yang menyakiti dan mendzolimi orang-orang yang sudah datang duluan. Seharusnya orang yang datang duluan juga harus dilayani duluan.
2. Budayakan antri karena antri adalah salah satu refleksi dari disiplin dan keadilan.

Pesan-pesan sederhana dan sangat mulia, tapi susah sekali kita praktekkan karena kita lebih suka bersikap seperti kampret jahanam. Apalagi kalau kita punya banyak uang dan punya jabatan tinggi. Seakan-akan antri adalah pekerjaan hina dan nestapa. Yang harus antri hanyalah orang miskin atau orang-orang “biasa”. Kampret!

“ Pak tolong siletnya diganti dulu “, permintaan standar yang selalu aku ajukan begitu aku dipersilahkan duduk di kursi cukur (oleh tukang cukur yang bukan biasa aku langgani).
“ Nanti masukkan tambahan biayanya pak “ lanjutku sekedar menegaskan bahwa aku tidak mau kompromi soal hal ini. Kemudian, aku serahkan kepalaku kepadanya.

Dengan cekatan dia “mempermak” kepalaku. Keterampilannya menggunting, memainkan silet, memijit kepala dan bahu cukup lumayanlah. Tapi tetap saja hasil potongannya mirip-mirip model cincang 231. Pff!

“ Terimakasih Pak! “ kataku sambil memberikan ongkos pangkas.
“ Ini kembaliannya pak, “ aku terkejut
“ Tadi aku minta ganti silet pak. Jambang dan kumisku juga cukup tebal, jadi pantas lah kalau Bapak menerima lebih “
Dia menggeleng dan tetap mengembalikan sisa uangnya.
“ Itu bukan hak saya pak. Terimakasih “

Menolak pemberian yang bukan haknya. Alangkah mulianya sikap tukang cukur itu. Dan untuk jadi jadi mulia, ternyata tidak harus berjabatan tinggi. Tidak harus berduit banyak. Tidak harus punya kantor mewah. Tidak harus bersorban atau bawa simbol agama kemana-mana. Siapa aja bisa. Tuhan tidak bodoh dan bukan idiot. Tuhan juga tidak katarak. Keep it up, Pak Tukang Cukur!

***

Menolak pemberian yang bukan hak. Apakah kita sudah berprinsip seperti itu?

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem.