Thursday, August 18, 2005

Merdeka !

Alunan musik-musik barat genre pop nostalgia mulai dimatikan seiring dengan dinyalakannya proyektor. Dilayar mulai muncul tulisan selamat datang dan beberapa detik kemudian menyusul anjuran dan larangan yang harus dipatuhi selama pertunjukan bioskop berlangsung. Mulai dari mintalah sobekan karcis, dilarang menggunakan handy cam, merokok, membuang sampah, menaikkan kaki keatas kursi sampai larangan menggunakan hp. Tiba-tiba security dan nona petugas penyobek karcis Twenty One menuju ketengah mengajak penonton untuk berdiri. Dilayar berwarna perak, mata penonton disuguhi gemuruh ombak menerjang karang dan intro lagu Indonesia Raya mulai terdengar. Seperti biasa visualisasi prosesi pengibaran bendera selalu menjadi pasangan yang tak terpisahkan dengan lagu dahsyat – ciptaan Pak Wage Rudolf Supratman itu. Kali ini satu regu pramuka dengan khidmat menaikkan sang saka ke atas bambu di pinggir sebuah sungai. Meskipun suaranya kresek-kresek tidak dolby stereo dan gambar dilayar sudah kecoklat-coklatan nggak jelas – entah itu produksi PFN tahun berapa – tapi selalu saja lagu itu mampu menggetarkan dan memenuhi hati. Mengajak dan mengobarkan Patriotisme. Love of country and willingness to sacrifice for it Love of and Devotion to Indonesia. Cinta dan setia kepada Indonesia. Begitu Lagu Indonesia Raya selesai, belum juga pantat ini (maaf) mendarat di kursi lagi, bum ! iklan sebuah produk hape buatan korea menyambar dengan musik dinamik – gedebam-gedebum – Dolby Stereo – atau DTS malah, menghentak keras tapi nyaman di telinga. Selanjutnya, kita terlena lagi dengan film Hollywood atau film-film Perancis – menu utama yang sengaja kita tonton. Tanpa pernah mau tau dan belajar betapa untuk membuat film yang digilai di seluruh dunia, butuh kerja keras, imajinasi, memperhatikan detail dan profesionalitas kerja yang luar biasa. Begitulah suasana menonton film di twenty one setiap tanggal 17 Agustus. Aku memang menyempatkan diri menonton film sore tadi.

Suasana diatas juga seakan menjadi metonimis sempurna Indonesia saat ini. Lemahnya daya saing, hanya peduli hasil dan menafikan proses, tidak punya visi kedepan, hanya berpikir untung rugi secara materi dan mengesampingkan kepentingan jangka panjang, tidak disiplin, malas, suka korupsi, suka menyakiti orang lain, tidak suka menolong orang lain, lebih suka ribut dari pada mencari solusi – memang tidak semuanya – tapi seakan sudah menjadi ciri khas kebanyakan orang Indonesia, mungkin termasuk aku atau kita. Ehm ..memang klise, tapi dengan muhasabah, introspeksi, dengan mengetahui kelemahan dan kekuatan kita, kalau dilakukan bersama-sama, aku optimis, Indonesia akan kembali menjadi Negara besar. Manfaat lidi akan menjadi berlipat ganda kalau diikat dan disatukan bersama-sama. Bisa untuk menyapu. Bisa untuk nyeblak-nyeblak kasur, bisa untuk nggebuk kecoa. Indonesia akan di hormati di kancah pergaulan internasional kalau SDM nya berkualitas.

Semarak Lustrum ke 12 Hari kemerdekaan RI memang terasa di mana-mana. D minus 4 kemarin, aku ikut Lomba Remi. Berbaur dengan tetangga, pemuda-pemuda setempat, tukang ojek, satpam dll . Kebetulan lawanku Pak Satpam dan Bapak penjual nasi uduk. Diawal-awal aku menggebrak. Kemudian tiba-tiba muncul perasaan bersalah, bukankah mereka yang lebih berhak menikmati hadiah ? Bukankah uang hadiah akan lebih bermanfaat bagi beliau yang sudah punya anak ?. Ah. Complicated sekali pikiranku ini. Hasil akhirnya ? aku kalah. Mengalah ? tidak !. Dalam suatu pertandingan & kompetisi sedapat mungkin aku mengedepankan sportifitas. Kekalahanku karena memang skill bermain remiku kalah dibanding beliau-beliau itu.
D minus 3, aku ikut lomba gaple. Juga Kalah. D minus 2 aku nggak ikut lomba catur karena aku pulang kantor sudah jam setengah sepuluh malam. Sudah capek sekali. D- minus 1 kemarin aku hanya gitaran nyanyi lagu-lagu bendera-nya coklat, Indonesia tanah air beta, hampir malam di jogja, tanah air kutidak kulupakan (sst ! ini bukan judul tapi bait pertama lagu he..he..he ). Juga lagu sunatan massal nya Iwan Fals. Piknik 72 nya – Naïf. Dan In my place-nya cold play he..he..he (itupun pakai buku yg ada chord gitarnya !).

Kira-kira jam setengah satu atau jam satu dinihari, temanku memberikan secarik kertas puisi pendeknya kepadaku . Intinya dia tidak bisa menjawab dan tak tau harus menjawab apa ketika menerima sms berisi text MERDEKA !!!.

Secara politis kita memang sudah merdeka. Tapi kalau dari aspek kebudayaan, hukum, ekonomi, kemanusiaan apakah kita sudah merdeka ? betapa tangan-tangan asing masih kita rasakan mengobok-obok muka dan kelamin kita dalam bidang itu. Kuambil hp dan mengirim pesan pendek ke temanku : Balaslah sms merdekannya dengan kata : Kapan ?.

Aku lalu melanjutkan begadang menonton West Wing. DVD yang sudah lama aku pinjam dari temanku dan harus aku tonton habis secepatnya supaya aku bisa cepat mengembalikannya lagi.

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem








Monday, August 01, 2005

Bahasa

Bahasa

Berseloroh temanku menasehati : “ kamu boleh keliru memilih istri, tetapi jangan pernah salah memilih mertua.“. Terkekeh-kekeh dia sambil bicara begitu. Aku hanya tersenyum dan tidak membantah ataupun mengiyakannya. Tapi kali ini aku tidak berniat bicara atau mengomentari substansi pembicaraan. Aku ingin mengajak kita berhenti sejenak mengamati kejadian percakapan antara aku dan temanku. Mengapa bisa terjadi percakapan antara dua orang atau lebih ? Bagaimana informasi dari seseorang bisa diteruskan ? Bagaimana program-program komputer yang rumit dan rumus-rumus kimia yang pelik bisa dipahami ? Ya. Lebih mengerucut lagi aku ingin bicara tentang Bahasa. Walaupun bukan ahli bahasa, aku berani mengatakan bahwa tanpa adanya bahasa, dalam waktu yang tidak begitu lama, manusia pasti akan punah, seperti halnya Dinosaurus.

Kita memang cenderung melupakan pentingnya sesuatu dan kurang menghargai ketika kita masih memiliki atau bisa melakukannya. Kita lupa bahwa bernafas adalah suatu anugerah yang dahsyat. Kita lalai bahwa bisa kentut adalah anugerah yang hebat. Kita menganggap biasa ketika kita bisa bangun dari tidur dan melakukan kegiatan sehari-hari. Kita sering lupa bersyukur pada Tuhan. Kita baru ingat arti pentingnya bernafas, kentut, dan sehat ketika kita susah bernafas, ketika kita tidak bisa buang gas atau ketika kita tidak bisa bangun dari tidur. Demikian juga kita sering lupa akan pentingnya Bahasa.

Kalau tidak ada bahasa, apakah jadinya, jika ada seorang gadis yang tidak bisa memanjat pohon, sangat ingin sekali makan mangga atau jambu yang tumbuh di halaman rumahnya. Bagaimana caranya seorang jejaka ingin mengungkapkan cinta kepada gadis pujaannya. Apakah bisa tercipta puisi yang indah ? Apakah bisa tercipta pesawat ruang angkasa yang canggih ? Apakah bakal ada komputer,televisi, radio, ataupun telepon genggam ? Kita tentu sepakat bahwa jawaban dari semua itu adalah tidak.

Kira-kira bangsa atau bahasa apa ya yang paling tua di dunia ini ? Konon, Raja mesir – Psammetichus, jauh sebelum masehi, mengasingkan dua buah bayi yang lahir bersamaan di suatu taman untuk mengetahuinya. Ketika mereka mulai berbicara, mereka mengucapkan “bekos” yang ternyata berasal dari bangsa Frigia yang berarti roti.

Sekali lagi, sebagai orang yang bukan ahli bahasa, semangat dan usaha para pendahulu kita, termasuk Herodotus yang menceritakan kisah diatas, wajib kita hargai. Kita juga wajib berterimakasih dan bersyukur karenanya.

Konon Tuhan marah pada umat Nabi Nuh, yang setelah selamat dari banjir besar, dan mendaratkan perahunya di Tanah Sinear, ingin mengabadikan nama mereka pada menara babel yang akan dibangun menyundul langit. Menyundul langit. Tuhan, marah atas kesombongan manusia-manusia ini dan menghentikan proyek pembangunan menara. Caranya ? Tuhan mengacaukan bahasa-bahasa mereka sehingga satu-sama lain tidak bisa memahami apa yang dikomunikasikannya. Terjadi kesemrawutan yang dahsyat sehingga proyek ini kandas dan mereka berpencar ke segala pelosok bumi. Sekali lagi, konon, inilah yang membuat bahasa di dunia ini bermacam-macam.

Ada sebuah kisah. Suatu saat konon ada seorang bapak ingin menanyakan keadaan anaknya yang baru saja pindah sekolah dari klaten ke London.
“ Gimana nak sekolah disana ? “. Sedikit kresek-kresek, terdengan anaknya bicara
“ Pre testnya gagal semua pak ! “.
“ Kenapa ? “
“ Aku tadi malam belajar biologi dan fisika, tetapi ketika di bagikan soalnya, ee, ternyata semua soal-soalnya bahasa inggris “ he..he..he

Bahasa suatu etnis atau bangsa tertentu memang terkait dengan budayanya. Butuh usaha extra keras untuk memahaminya. Ketergantungan terhadap bahasa tertentu di pergaulan global juga tak terhindarkan. Menarik sebenarnya, ide Dr.Ludovic Lazar Zamenhov – Seorang Dokter Mata yahudi - yang meluncurkan Bahasa Esperanto tahun 1887 - bahasa auxiliary untuk komunikasi internasional. Sebagai sebuah demokratisasi bahasa. Bahasa global untuk setiap manusia. Esperanto sendiri berarti Suatu Harapan. Tetapi nampaknya perkembangannya termasuk lambat. Banyak yang belum mengerti tentang bahasa ini – termasuk aku sendiri. He..he..he

Tapi menurutku, sekarang ini yang lebih dibutuhkan adalah bahasa hati. Karena banyak yang meninggalkan hatinya di rumah ketika ngantor. Banyak yang tidak membawa hati ketika diberi amanah untuk memimpin. Menambatkan hatinya entah dimana atau digadaikan dengan apa ketika mengambil keputusan. Ya… Ijinkanlah aku memprovokasi anda semua untuk selalu menuruti hati nurani. Follow you blizz !.Salam.


Hayat
Penikmat seni dan sayur asem.