Saturday, December 16, 2006

Pembantu

Pembantu

Diantara wajah-wajah cerah teman-teman, harum kopi tubruk, laknat asap rokok, cemilan-cemilan menggairahkan, kami sempat terhenyak, sebelum akhirnya tertawa berhahahaha. Ketika ditanya dimana dulu pertama kali ketemu dengan istrinya, salah seorang temanku menjawab : aku nyari istriku di yellow page. Ha.ha.ha.

***
Kali yang lain temanku misuh-misuh. Tukang ojek yang sudah dipanggilnya tiba-tiba berbelok arah ketika dari belokan jalan, seorang gadis cantik muncul memanggilnya. Tukang ojek itu lebih memilih mengangkut si gadis cantik daripada temanku yang lebih dulu memanggilnya.
“Tukang ojek keparat!” katanya.
Dan mulai saat itu dia tidak mau memakai tukang ojek itu lagi. Sampai sekarang.

***
Apakah kaitan kedua cerita diatas? Stop. Stop. Jangan berpikir aku akan memberi ceramah tentang tehnik penulisan. Ini juga bukan diskusi masalah bahasa. Jadi tidak perlu mendatangkan Pak Yus Badudu segala sebagai nara sumber. Ini bukan persoalan semantik. Ini cerita tentang perhatian, empati, dan cara memperlakukan orang lain.

Kembali ke cerita kedua. Pernahkah kamu diperlakukan tidak adil? Diperlakukan tidak semestinya? Diperlakukan seperti seonggok ta*beep* tak berharga? Omonganmu tidak didengar?. Tanyakan pada orang yang pernah mengalami, rasanya mungkin lebih sakit daripada di smack down John Cena atau digebukin Chris John.

Ya.Pasti sakit banget. Dan celakanya, jangankan berempati, kebalikannya kita malah sering menindas orang lain. Sering berbuat culas kalau ada kesempatan. Meskipun kita mampu untuk mengaji pembantu 500 ribu misalnya, pastilah kita akan berusaha menekan mereka semurah mungkin karena mereka nggak punya bargaining position. Aku tidak ingin mengatakan bahwa kita harus menggaji pembantu 5 juta, tapi berikanlah mereka gaji yang wajar. Selagi kita mampu, memberi mereka gaji sedikit lebih tidak membuat kita bangkrut khan?. Seringkali kita lebih memilih untuk menindas pembantu dan menggunakan kelebihan uang untuk untuk kesenangan kita.

Kita juga sering lebih memilih “membunuh buruh-buruh dengan memeras gaji mereka”. Selagi kita bisa peras, kita betheti mereka. Kalau perlu dan bisa, kerja rodi kita hidupkan kembali. Untung banyak tidaklah cukup. Untung maksimal yang dicari. Tidak perduli nyawa ratusan ribu buruh bergelimpangan, yang penting perusahaan untung, kondite kita melambung. Sejuta alasan bisa dicari untuk membenarkan alasan kita melakukannya. Ah. Ternyata kita juga kejam seperti Hitler ya. Astaghfirulahaladzim.

Kembali ke cerita pertama, aku tahu bahwa cerita temanku bohong. Tidak mungkin lah dia cari istri lewat yellow pages. Tapi bohong temanku itu rasanya lebih mulia daripada memberi gaji kecil pembantu.

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem
www.presiden-hayat.blogspot.com