Sunday, July 01, 2007

Gendut : an inconvenient truth

One of the nicest things about life is the way we must stop whatever we are doing and devote our attention to eating. - Luciano Pavarotti

Sore baru saja menutup tirai dan giliran malam kini menawarkan pesonanya. Traffic jam mendamparkan orang-orang - yang baru pulang dari kantor - ke café-café. Undangan teman juga menyeretku ke sebuah restoran dine&wine yang harga di daftar menunya bisa membuat dompet ciut nyalinya. Karena kebetulan gratis, ya pantang mundur maju terus saja.

Meskipun dimaksudkan sebagai bachelor party, tapi jangan terus membayangkan ada striper, tingkah liar gila-gilaan, atau ajang kesempatan terakhir untuk melakukan sesuatu yang nantinya pasti tidak diijinkan oleh sang istri jika sudah menikah. Kami – tidak hanya laki-laki – sekedar berkumpul dan makan-malam bersama, bersulang merayakan hari terakhir masa lajang seorang teman. Jadi lebih mirip versi Bachelor Party - the beginning-nya; tradisinya tentara Sparta kuno.

Kalau mau mencari unsur wild and crazy-nya, ya jelas obrolan dan rumpiannya. Karena pasti tidak ketinggalan membahas tentang hal itu-tu. Edan banget deh pokoknya!

Diantara obrolan yang vulgar dan masuk kategori parenthal guide, tiba-tiba temanku -perempuan dan gendut banget - mengeluh :

“ Kamu beruntung sudah mau menikah, Jarang ada laki-laki yang mau menerima perempuan berbobot 85 kg ke dalam kehidupan dan tempat tidurnya, “
Segera, pernyataan tersebut mengundang reaksi teman-teman perempuan.
“ E,e,e Kok kamu kamu jadi melo gitu. Kamu baik hati dan tajir, pasti banyak laki-laki yang mau menikah denganmu. Tenang saja, menopause masih jauh.“
“ Iya! Cogito, ergo sum lebih mulia daripada mensana in corporesano. Beautiful mind! Beautiful mind! “ teman yang lain ikut menimpali.
“ Lho, Descartes … “
“ Kita bukan sedang kuliah filsafat atau belajar bahasa latin bo!. Nggak usah dibahas serius yang itu, maksudnya inner beauty lebih baik daripada kecantikan fisik semata “
Hilir mudih ocehan temanku menyetrum bakat bawelku. Gatel juga aku ingin bicara.
“ Gemuk, gendut, gembrot itu berpotensi menjadi pabrik penyakit “ sergahku.
Teman-temanku melongo. Sebagian mendelik kepadaku, karena termasuk fitnah juga kalau sekarang ini aku dikatakan kurus. Bobot terberat terakhirku adalah 80 kg.
“ Orang ingin berat badan ideal, tapi pola makan dan hidup sehat dilupakan “ aku menyindir diriku sendiri dan melanjutkan berkutbah :
“ Kenapa aku gendut? Mengapa aku makan sembarangan dan nggak menjalankan pola makan yang sehat? Kenapa aku nggak punya waktu untuk berolah raga? Kenapa dulu aku nggak bisa mempertahankan ukuran celana 27, sedangkan tinggiku sudah mentok? Kolesterol, diabetes, stroke, gangguan jantung dan monster (penyakit) kelas berat lain - dengan mulut menganga siap menyantap - sudah dipelupuk mata tak nampak? Sudah lebih dari 30 tahun aku makan enak, apakah itu belum cukup? Apakah gemuk adalah cita-citaku? Cita-citamu? If so, fine!. Carry on. Laksanakan dengan sepenuh hati dan aku sudah ambilkan filosofi makan yang bagus dari Pavarotti seperti aku kutip diatas. Karena semuanya memang berasal dari hati dan pikiran kita. Tergantung bagaimana cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Kalau kalian ingin masuk golongan ogah-gendut-apalagi-gembul, segera tetapkan hati untuk menjalankan pola makan yang sehat, fokuskan pikiran, singkirkan rasa malas dan berdisiplinlah. Diet akan berhasil kalau dimulai dari suatu kesadaran. Apakah harus menunggu sampai dadamu di obok-obok dengan pisau operasi, tenggorokanku di okrok-okrok dengan dengan selang baru akan sadar bahayanya obesitas? Apakah kamu tidak merasa bersalah selalu melesakkan junk food ke perut anak-anak mu? Apakah.. “ Aku terpaksa menghentikan ceramahku dan tersenyum kecut. Karena teman-temanku tidak mendengarkan dan asyik dengan wine-nya masing-masing.

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem