Thursday, January 03, 2008

When it is dark enough, you can see the stars

“ When it is dark enough, you can see the stars “ – Charles A Beard


“ Of course I’m afraid, what sane man is not! “ setengah berteriak aku memotong nasehat temanku.
“ Akupun juga sering patuh pada logika yang membuat dan menyempitkan parameter kebahagiaan berdasarkan berapa banyak materi yang kita punyai “ nadaku masih agak tinggi.
“ Tapi melepaskan pekerjaan yang diinginkan banyak orang dengan increment yang begitu menggiurkan adalah gila! “ temanku kelihatan gregetan. Suaranya tak kalah tinggi. Kita sudah seperti orang berantem.
“ Stop. Pastilah kemudian kamu akan bilang bahwa jalan tengah yang paling bijaksana adalah menggemukkan tabungan dulu baru kemudian pindah kerja, gitu? “
Kurang lebih 7 detik saja aku terdiam, selanjutnya sifat sok tahu dan kebawelanku show off lagi.
“ Logikaku juga mengatakan demikian. Aku juga bukan orang yang anti kemapanan, but, there is something in my heart. Ada sesuatu yang tidak boleh terhalangi…Sesuatu yang… irresistible, susah kali menjelaskannya, seperti…seperti… bayangkan saja kita sudah mau bersin, tapi tertahan dan nggak jadi…kamu tahu rasanya khan?! “ Tanganku bergetar, mencengkeram angin saking gemasnya.
“ Semakin lama aku menunda ( mengerjakan sesuatu yang aku inginkan itu), aku merasa semakin jauh tersesat. Aku dianiaya dilema, “ suaraku memelan. Kuambil lagi sebatang rokok - dari 17 batang yang masih tersisa – di kotak bertuliskan Marlboro Lights. Kuabaikan tulisan “ Smoking Kills “ dibawahnya dan mulai membakar ujungnya yang tak bergabus. Dengan bergegas kuhisap asap melalui ujung satunya dan kurang lebih 5 detik kemudian kuhamburkan lagi keluar lewat hidung dan mulutku.
“ Kalau kulepas pekerjaanku yang sekarang aku akan kehilangan pendapatan rutin yang sudah cukup bagiku. Tetapi kalau nggak kulepas, maka aku tidak akan bisa fokus 100% mengerjakan sesuatu yang sangat aku inginkan. Melakukan sesuatu setengah-setengah tidak akan optimal hasilnya bukan? “ . Temanku tidak menjawab.
Aku tersenyum kecut. Menghisap nikotin dan beribu-ribu racun dalam rokok berani, tetapi keluar dari pekerjaan dan memulai sesuatu yang diinginkan dari nol lagi selalu mikir-mikir terus. Kemana sifat risk taker yang selama ini akrab denganku? Kenapa hilang atau tidak berdaya ketika berhadapan dengan uang? Kenapa aku lebih memilih terseret oleh keadaan daripada mengubah sesuatu menjadi apa yang aku inginkan? Ah. Sifat pengecutku tumbuh subur dipupuk uang dan “kesenangan”. Menghasilkan buah pesimistis, masa bodoh, dan selalu menganggap take for granted.

***

“ What can I get for you sir? “ suara waitress membuatku tergagap. Membuyarkan lamunanku.
“ Anything rice, “ jawabku sekenanya setelah sekilas melihat daftar menu, aku nggak menemukan sapi lada hitam. Malam belum lagi renta, tetapi mimpi-mimpiku untuk lepas dari sihir uang dan mementingkan kualitas hidup sudah muncul. Bersambung dan terus bersambung.

Selamat Tahun Baru 2008.

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem