Monday, May 04, 2009

Tukang Cukur

“ Bupati, Kapolres, dan pejabat-pejabat sini melanggani tukang cukur ini lho pak, “ temenku menyakinkanku. Mungkin melihat mukaku yang masih berkerenyit-kerenyit dan ragu-ragu melihat tempatnya yang sangat sederhana.
“ Sudah pernah dimuat dan diulas di koran juga, “ lanjutnya.

Waduh. Penjelasannya malah membuatku jadi tambah bimbang. Bupati, Kapolres, potongan rambutnya biasanya kan model crew cut atau model cincang 231. Dicincang rambutnya hingga hanya tersisa 2 cm di depan, 3 cm di tengah dan 1 cm di belakang. Wah, kalau harus di pangkas dengan “SOP” ekstrim (231) begini ya jangan. Lain kali mungkin boleh, karena saat ini aku sedang ingin model rambut yang pendek, tapi agak-agak funky lah.

“ OK, kita tengok juga yang lain dulu untuk mendapatkan tempat dan tukang cukur yang terbaik “ jawabku bergaya. Sekali-kali bergaya boleh lah ya. Di minggu siang yang dikerubuti awan ini, kita bergegas berburu salon dan barber shop.

***

Sudah dua salon kita masuki dan dua-duanya tidak punya stylish yang bisa merapikan jambang dan kumisku. Tidak semua yang kita inginkan kita dapatkan. Tempat cukur dan tukang cukur yang sesuai dengan standarku belum aku dapat. Tapi jambang dan kumisku yang sudah menyulapku mirip Tom Hank di film Cast Away, sudah membuatku tak nyaman.

Setelah berpusing-pusing dan mendapati beberapa barbershop juga tutup. Akhirnya, kita balik lagi ke tukang cukur langganan bupati tadi. Temanku juga terlihat senang akhirnya aku memilih mengikuti rekomendasinya.

***

Begitu masuk ruang kerjanya, kita disambut banner yang bertuliskan permohonan agar tidak pesan tempat lewat telepon dan pelanggan diminta antri dengan tertib. Banner tersebut ditempel disamping kaca. Meski ditulis dengan tata bahasa dan ejaan yang tidak sesuai dengan EYD, tapi pesan yang disampaikan sangatlah jelas. Crystal Clear:

1. Pesan tempat lewat telpon (dalam ranah publik) adalah perbuatan jahanam yang menyakiti dan mendzolimi orang-orang yang sudah datang duluan. Seharusnya orang yang datang duluan juga harus dilayani duluan.
2. Budayakan antri karena antri adalah salah satu refleksi dari disiplin dan keadilan.

Pesan-pesan sederhana dan sangat mulia, tapi susah sekali kita praktekkan karena kita lebih suka bersikap seperti kampret jahanam. Apalagi kalau kita punya banyak uang dan punya jabatan tinggi. Seakan-akan antri adalah pekerjaan hina dan nestapa. Yang harus antri hanyalah orang miskin atau orang-orang “biasa”. Kampret!

“ Pak tolong siletnya diganti dulu “, permintaan standar yang selalu aku ajukan begitu aku dipersilahkan duduk di kursi cukur (oleh tukang cukur yang bukan biasa aku langgani).
“ Nanti masukkan tambahan biayanya pak “ lanjutku sekedar menegaskan bahwa aku tidak mau kompromi soal hal ini. Kemudian, aku serahkan kepalaku kepadanya.

Dengan cekatan dia “mempermak” kepalaku. Keterampilannya menggunting, memainkan silet, memijit kepala dan bahu cukup lumayanlah. Tapi tetap saja hasil potongannya mirip-mirip model cincang 231. Pff!

“ Terimakasih Pak! “ kataku sambil memberikan ongkos pangkas.
“ Ini kembaliannya pak, “ aku terkejut
“ Tadi aku minta ganti silet pak. Jambang dan kumisku juga cukup tebal, jadi pantas lah kalau Bapak menerima lebih “
Dia menggeleng dan tetap mengembalikan sisa uangnya.
“ Itu bukan hak saya pak. Terimakasih “

Menolak pemberian yang bukan haknya. Alangkah mulianya sikap tukang cukur itu. Dan untuk jadi jadi mulia, ternyata tidak harus berjabatan tinggi. Tidak harus berduit banyak. Tidak harus punya kantor mewah. Tidak harus bersorban atau bawa simbol agama kemana-mana. Siapa aja bisa. Tuhan tidak bodoh dan bukan idiot. Tuhan juga tidak katarak. Keep it up, Pak Tukang Cukur!

***

Menolak pemberian yang bukan hak. Apakah kita sudah berprinsip seperti itu?

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home