Monday, May 25, 2009

Kelas menengah gombal

"Puf! Sombong sekali. Gue nggak suka dia. Milliner yang hebat pun tidak akan sanggup membuatkan topi untuknya. Besar kepala kali dia!" teman perempuanku merespon dengan sengit ketika aku memuji kecantikan Paris Hilton.

Kutunda mendebatnya biar panas hatinya tidak mencairkan lebih cepat iced caramel macchiato-ku. Tampaknya dia masih gusar karena kulihat dia menyendoki whipped cream dari mocha frappuccino-nya tergesa dan melahapnya dengan kesal.
Ya, memang diluar kebiasaan. Tadi dia minta barista untuk menambahkan whipped cream.

"Janganlah kebencianmu kepada seseorang membelokkan penilaian objektifmu. Benci adalah benih varietas unggul dari ketidakadilan," nasehat klasik keluar dari mulutku.

Sok tua. Sok tau. Darah manusia jenis crewet baweltus soktaubangetus tampaknya mengalir dalam tubuhku, sejak lahir.

"Gue bukan malaikat yang tidak punya rasa benci dan emosi. Ada sekat-sekat yang sudah built in di dalam otak gue. Ada ruang dalam otak gue yang menyuruh geram terhadap orang kaya yang sombong. Ada ruang dalam otak gue yang menyuruh supaya benci permanen terhadap kelakuan Israel yang sewenang-wenang terhadap Palestina. Ruangan lainnya didisain khusus supaya jijik terhadap pemerintah yang selalu menelantarkan kepentingan rakyatnya. Jadi, jadi, jadi jangan pernah memuji-muji orang kaya, celebrity, atau pejabat yang punya kelakuan najis di muka gue. Mual gue!"

Wuszz.. Semburan kata-katanya melesat lebih dari 3 kata per detik. "

Kamu dulu dapat beasiswa dari gerilyawan Tamil ya babe?" tanyaku berusaha meredam emosinya.

Dia memelototiku. Rongseng.

"Lu tuh memang nyebelin ya. Bukannya affirmative dan mendukung gue, ee.. malah mbelain si kampret Paris Hilton. Bukankah dia klepto? ngutil DVD! Bukankah dia kurus tinggal tulang binti anorexia? Mana sifat setia kawan lu?"

Aku mengangkat tangan mengisyaratkan agar dia berhenti bicara.

"Haruskah selalu serius seperti ini? Persoalan sepele menggosipkan Paris Hilton kenapa jadi membengkak kemana-mana? Bisakah kita hanya bergosip an sich dan tidak membebaninya dengan konteks yang kompleks. Just gossip sebagai teman minum kopi dan membantu waktu menuntun senja, menyerahkan diri ke malam minggu yang berbintang."

Aku juga protes dan sedikit emosi. Untung kami berlabun-labun di meja paling pojok di kedai ini. Jadi nampaknya suara kami yang kerap menguat hingga berpotensi menyebabkan tinnitus tidak mengganggu keasyikan para penggila kopi yang lain."

"You're so pathetic my friend! Nampaknya lu juga penggemar sekte kelas menengah keparat yang terlena di zona aman. Yang nantinya akan asyik menggemukkan anak dan tidak peduli lagi persoalan manusia yang lain. Apatis terhadap persoalan sosial dan tidak kritis karena senang menetek kepada pemerintah. Individualis egois dengan kitab suci less we more me. Yang penting kenyang dan senang, dan tidak peduli bahwa kemiskinan bertebaran di sekitarnya, ketidakadilan merajalela, kekayaan alam kita dirampok habis di depan mata, korupsi membudaya, bumi sakit, demam tinggi karena global warming. Mereka tidak perduli my friend! Wake up man, ada lebih dari 35 juta warga negara miskin di Indonesia."

Dia menyabak. Aku ternganga.

"Ini bukan sekedar statistik man. Mereka manusia bung. Satu spesies dengan kita. Dengan kelebihan uangnya, kelas menengah keparat itu seharusnya bisa berbuat lebih dan merubah keadaan menjadi lebih baik."

Kulihat tetes airmatanya jatuh ke mug moccha frappucino-nya.

Kutelan ludahku, dan berkata lirih; "Aku sependapat, tapi kalau bilang Paris Hilton nggak cantik, itu fitnah namanya."***

1 Comments:

At 9:14 PM, Blogger rajwa said...

salam kenal dik...
masih inget khan. ini dudi dari serang, ya saya pake acount anak saya aja, biar asik

 

Post a Comment

<< Home