Saturday, December 18, 2010

virginity

“ Singkirkan tatapan murung mu itu ? “ kata Yojuni pelan. Dengan lincah, tangannya memainkan pisau & garpu, memasukkan irisan kecil foei gras ke mulutnya.

Denting sendok yang terpeleset membentur piring atau denyit garpu yang tergesek pisau saat mengiris daging (yang dicocoknya), sesekali terdengar dari meja-meja di sekitar kami.

“ Kamu tak akan bisa menjalani masa depanmu dengan tenang, kalau kamu tidak berdamai dengan masa lalumu, “

Beberapa saat dia menatapku, menegaskan agar aku mengikuti kata-katanya.

“ Dia sudah pernah dicium orang lain, Yo! “ aku balas menatapnya. Sedih.

“ Itu 17 tahun yg lalu bro! saat kita masih SMA. Kamu masih belum bisa lupakan? “ Dia terperanjat dan hampir tersedak.

“ Cacat lu!!! Dia dicium bekas pacarnya 17 tahun yang lalu dan kamu masih belum bisa lupakan? “ ulangnya.

aku menggeleng pelan; “ Dia juga mengaku sudah tidak perawan lagi “

Pffuff!

Dunia disekitarku seperti melambat dan berhenti. Yang bergerak cepat hanyalah bayangan adegan mesra antara tunanganku dengan bekas pacarnya. Seperti layaknya film 3D yang diulang-ulang. Seperti nyata didepanku. Menyakitkan.

Tunanganku sudah tidak perawan lagi! Pikiran seperti ini yang selalu menghalangi kata-kata menikahinya keluar dari mulutku. Dari awal, hati kecilku sebenarnya sudah tidak setuju dengan pertunanganku ini. Kalau dia sudah merelakan dicium dan menyerahkan keperawanannya kepada bekas pacarnya, seharusnya dia hidup bersama dan bahagia dengan bekas pacarnya itu. Bukan hidup dengan orang lain. Menyerahkan keperawanan adalah keputusan besar dan penting dalam hidup. Tidak bisa sembrono karena kita bukan anjing, ayam atau kucing. Tapi aku tidak berani melawan kehendak orang tuaku yang menjadi sahabat baik orangtuanya. Aku takut durhaka.

“ Dia sudah tidak perawan lagi “ otakku menyiksa lagi.

Adegan-adegan mesra tunanganku dengan bekas pacarnya muncul lagi menganiaya. Menyakitkan.

“ Are you allright bro? “ ucap Yojuni pelan.

Kuhadapkan telapak tangan kiriku kedepannya, mengirimkan pesan bahwa aku baik-baik saja. Serius dia mengamati raut wajahku. Aku jengah diperhatikan seperti itu. Beberapa detik jadi canggung.

Datangnya pesananku menyelamatkan suasana sarapan pagi yang muram. Senyum, anggukan kepala, dan ucapan terimakasihku ke pramusaji dibalas dengan sikap serupa. Dengan cekatan, dia letakkan piring datar berwarna putih berisi plain omelette yang segera diletakkan di meja di depanku.

“ Sorry Yo. Jadi curhat jadinya “ aku beranjak dari kursi setelah pramusaji meninggalkan mejaku. Kucari wastafel untuk cuci tangan lagi. Kurasakan pandangan mata Yojuni masih mengikutiku.

Aku datang ke hotel tempat dia menginap ini untuk menemaninya sarapan karena Yojuni hanya meeting sebentar di Jakarta dan harus pulang ke kotanya sore nanti sebelum jam kerjaku berakhir.

Bersyukur aku punya sahabat seperti dia. Meskipun kita berbeda seperti langit dan bumi, tapi dia selalu mengerti keadaan diriku. Bahkan, beberapa hal yang aku tidak berani ceritakan ke orang tua atau saudaraku, aku bisa nyaman sampaikan ke dia.

Aku, Yojuni dan Noru - tunanganku sekarang - adalah teman sekolah sejak SMP. Kita berpisah selepas SMA untuk kuliah di tempat yang berbeda. Yojuni dan Noru ke Melbourne dan aku ke Singapore.

Lulusan sekolah luar negeri ternyata masih jadi jalan tol untuk mendapat pekerjaan dan karir yang bagus di negeri ini. Aku kerja di Perusahaan asing di Jakarta. Yojuni di Balikpapan dan Noru di Surabaya.

Sayangnya, cerita indah tidak terjadi di kehidupan percintaan kami. Kudengar dari Yojuni, Noru terguncang hebat ketika memergoki pacarnya selingkuh. Niatnya pulang diam-diam saat libur kuliah untuk memberikan surprise, malah memberi dia sakit hati.

Lima tahun berpacaran, pengorbanan untuk meluangkan waktu bersama, bahkan keperawanan sudah diberikan, ternyata tidak mampu mengikat kesetiaan pacarnya.

Selera purba pacarnya lebih memilih seorang pegawai salon yang punya ukuran dada diatas rata-rata, yang entah terbuat dari apa.

Yojuni juga cerita putus dengan pacarnya, tapi sepertinya tidak ada perubahan yg berarti. Nggak tau apakah dia datang dari masa depan, atau pikirannya sudah jauh maju melewati mesin waktu. Dia kelihatan biasa-biasa saja. Kecewa pun nampaknya tidak. bahkan cara berpikirnya semakin lama semakin liberal menurutku.

Itu khabar yang aku dapat ketika terakhir bertemu Yojuni setahun yang lalu. Kebetulan kami bisa pulang kampung bersama-sama ke Solo untuk melayat karena Ayahnya Noru meninggal.

Sesudah pemakaman, aku diberitahu ibuku bahwa sebelum meninggal, Orang tua Noru dan orang tuaku sudah melakukan pembicaraan yang intensif untuk menjodohkan aku dengan Noru. Keputusan itu diambil karena baik aku maupun Noru belum juga menikah ketika usia sudah lewat 30 Tahun. Dan, seperti biasa aku tidak berani mendebat ibuku.

Aku sudah semeja lagi dengan Yojuni. Mencoba membuat lelucon-lelucon agar pertemuan yang sudah sangat jarang terjadi ini menjadi hangat. Tapi keinginanku untuk menceritakan perkembangan hubunganku dengan Nori yang seperti berjalan di tempat juga tak terbendung. Aku tahu, ini sebenarnya bukan pilihan topik yang bijaksana, tapi siapa lagi yang bisa kupercaya menampung keluh kesahku? Dan Yojuni, sepertinya bisa mengerti.

“ Singapore dan jakarta yg bebas tidak menjadikanmu berubah, tidak sepertiku “ raut wajahnya murung. Seperti daun maple yang luruh, pasrah terhadap angin musim gugur. Sesaat, aku tidak percaya perempuan yang selama ini kuanggap punya sel anti kecewa di darah putihnya karena selalu riang, bisa mendadak kelam.

“ Kau tau apa yang terjadi di Melbourne denganku ? “ kali ini hampir menangis.

“ Tidak usah kau ceritakan kalau itu hanya menbuat kau sedih. Aku hanya punya sedikit sahabat dan aku tidak ingin sahabatku menangis sepagi ini “ Kuusap-usap tangannya, mengemis untuk tidak cerita.

“ Tony, pacarku yang ganteng, wine, musim dingin dan suasana yang romantis membuat pengalaman bersetubuh pertamaku terasa indah. Tapi itu hanya berlangsung satu hari. Tanpa sengaja siangnya aku mendengarkan ocehan Tony ke teman-teman kampusnya. Katanya ML dengan perawan nggak enak. Suck. Seperti bercinta dengan mayat. Nggak Hot. Ditengah-tengah kerasnya tertawa, dia malah bersumpah tidak akan bercinta lagi dengan perawan. Dia dan kawan-kawannya menertawaiku “
Suaranya tersekat karena emosi “ Anjing! Saat itu juga aku labrak Tony dan kugampar dia “

Tangis Yojuni pecah.

Kugenggam tangan Yojuni erat-arat. Kubisikkan ketelinganya : “ Kalau kau minta aku untuk membunuh anjing itu akan aku lakukan “

Life is complicated. Sepuluh menit kemudian kita berdua sudah di kamar Yojuni. Kamar 503. Menghabiskan semua minuman beralkohol di minibar.

***

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem